Malam kian mencekam. Suara zikir bersahutan memecah keheningan, deru langkah para santri menuju ke pemakaman seorang kiyai yang baru disemanyamkan tadi malam diperkuburan umum desa peunaga rayeuk. Terlihat para santri kusyuk mentertilkan al-quran tepat disebelah kanan dan kiri pemakaman. Kupercepat langkahku menuju kesana. Kuburan dengan panjang hampir dua meter beratapkan terpal dengan lebar 4x 6 meter. Sekelilingnya banyak kuburan yang lain ditumbuhi ilalang dan rumput liar dibiarkan tumbuh dengan lebatnya. Aku duduk tepat kepala kuburan, ditanganku al-quran masih tertutup. Kualihkan pemandangan ke arah pesantren, lampu rangkang masih menyela disetiap rangkang para santri. Masih terbayang dalam ingatanku tentang sebuah batu hitam yang jatuh dirumah kiyai muzakir pada malam pukul 01.00 wib. Batu hitam menembusi atap rumah yang terbuat dari daun rumbia, entah siapa yang melemparnya. Atau memang pertanda akan ada yang meninggal. Banyak tafsiran dan banyak dugaan yang bermunculan tentang batu itu. Karena paginya kyai muzakir berpulang kerahmatullah.
“ Batu itu oarang pintar yang lempar” Nyelonoh muklis. Salah satu santri berambut keriwil.
“ Bukan, itu batu sengaja dilempar sama orang yang tidak senang dengan pak kyai muzakir” bantah mukmin beraguman lebih masuk akal.
“ Kalau menurut saya!, itu pasti ulah orang iseng yang mau mengetes ilmu pak kyai” Timpa azmi.
Konon kyai muzakir dikenal pandai dalam bidang pengobatan dan ilmu gaib. Banyak para Teungku yang bercerita tentang kelebihan kyai muzakir disela-sela ngaji kitab. Aku hanya mendengarkan, dalam batinku takjub dan percaya tentang cerita para teungku dayah Darul Hikmah yang terletak di jalan moulaboh tapaktuan ini. Pesantren yang masih menganut sistem dayah dan paduan kurikulum depag ini terbagi dua, dayah putra dan putri. Dayah putra tidak ada bangunan mewah, masih rangkang dalam satu rangkang terdiri dari 3 atau 4 santri. Sedangkan dayah putri telah berdiri bangunan mewah dua lantai yang dicat warna hijau tua dan nampak dari pinggir jalan.
Aku terkesima, dari tadi aku terdiam. Quran masih tertutup ditanganku. “ hai Teungku jol...?” satu tangan mendarat di pundakku.
“ oh.. maaf wandi, aku lagi mikir sesuatu” ujarku agak terbanta-banta.
“ Jangan pikir yang macam-macam dikuburan, ntar kamu kesurupan lagi. Apalagi kita lagi khatam quran.” Kata wandi mengingatkanku.
“ siapa bilang kesurupan, itukan kata kamu. Aku cuman berpikir kenapa batu itu bisa menembusi atap rumah kiyai muzakir, padahal beliau orang sakti dan pintar.”
“ Jangan banyak mikir, itu sudah takdir, dah...! baca trus qurannya” ujar wandi dengan alis mata dinaikkan sebela.
Selama tujuh hari siang dan malam para santri bergiliran untuk mengkhatamkan quran dikuburan kiyai muzakir. Sedangkan aku hampir tiap malam mengantarkan makanan untuk mereka yang ngaji quran.
Suasana darul hikmah riuh saat gotong royong pagi jumat. Ada yang santai dan ada yang giat bekerja. Mukhlis masih asik dengan piring ditangan, santri yang berasal dari pantee cermen ini dikenal dengan santri kuat makan. Kami slalu gelik dan tersenyum ketika berada didapur, dia hanya memasak nasi doank, sedangkan kawan nasi dia minta dari kawan-kawan satu persatu hingga piring nasinya penuh dengan kawan nasi.
“ Klis...! masih tulak kapai ya?” teriakku dari kejauhan
“ Bentar lagi! Ni belum habis” sambil berlaian kedapur.
“ Hoi, yang lari dan didapur berkumpul dilapangan...! cepat???” Teungku Yusdarman berteriak sambil memegang rotan ditangan kiri.
“ Mukhlis, kamu berdiri dengan sebelah kaki?.” Perintah teungku imam dengan mata melotot. Kami hanya bisa senyum. Teungku imam adalah guru yang dikenal dengan kedisiplinannya. Walaupun beliau bersuku jawa tetap tidak membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Atas nama melanggar tetap kenak hukuman.
“ Teungku..! dah cukup kakiku pegal.” Pinta mukhlis menghiba.
“ Oh, dah pandai meminta ya..” ujar teungku imam sambil mencubit dengan jurus ampuhnya.
“ Akkkkkkkkkkk.. sakit.”
“ Gak lagi teungku. Ampunnn?.” Pinta mukhlis. Saking sakitnya kenak cubitan, kain bagian belakangnya basah. Teungku yusdarman menutup hidung, sedangkan teungku imam mencari asal bauk dari mana.
Aku tidak sanggup menahan ketawa, kawan-kawan yang lain pada berhenti gotong royong, mereka turut ketawa terpingkal-pingkal. Rupanya muklis keluar mencret, maklum semalam kami buat bubur kacang hijau memakai santan kelapa yang dikukur dirumah Nek Mi disamping rangkang nomor satu.
“ ah kamu klis. Sedikit kenak hukuman malah keluarin jurus ampuh lagi, ya udah cuci dibak sana..?” perintah teungku imam sambil senyum-senyum.
Setelah shalat asar, aku dan kawan-kawan yang lain bergegas menuju ke halaman mesjid desa peunaga, kira-kira seratus meter dari pesantren. Bola kaki beserta sepayu telah kami siapakan. Maklum main bola kaki denan berbagai macam persi dan unik. Muklis selalu setia menjadi penjaga gawang dengan kain sarung hitam yang dikenakannya. Mukmin, adi, faisal dan yang lainnya lebih gawat lagi, ada yang memakai celana jeans baju kemaja dan ada yang memakai peci. Beginilah setiap sore hari.
Setelah genap tujuh hari pemakaman mulai sunyi. Para santri mulai aktif belajar malam. Kami kelas dua selalu menjinjing kitab Bajuri dan kitab Nahu Imriti. Dengan teungku yang sama yaitu tengku arafiq.
“ Inilah yang berat teungku Jol. Pening ini kepala slalu imriti bisa-bisa pungoe nahu kita.” ngeluh helmi dengan muka agak masam.
“ Biasalah.. masa depan akan cerah helmi!!!” jawabku sekedar saja.
Tidak terasa waktu terus berjalan. Aku mulai bosan dengan pesantren. Batinku selalu bergejolak, entak kenapa sejak naik kelas tiga aku mulai bosan dan ogah ogahan tinggal dipesantren. Orang tua sebulan sekali datangmenjengukku. Uang banyak aku habiskan diluar pesantren dengan kawan-kawan yang mulai berani cabut menuju ke kota moulaboh. Kadang ke pantai setiap hari minggu dan kadang memancing di pinggir kuala pantai lam naga.
Setiap hari minggu pantai lam naga dikunjungi muda mudi berpasang-pasangan dengan kereta, entah apa yang mereka lakukan dilaut sana..?. letak pantai tidak jauh dari pesantren darul hikmah, kira-kira lapan ratus meter dari depan pesantren.
Sejak sering cabut jiwaku meronta. Aku ingin bebas sebebas burung yang terbang mengelilinggi bumi ini tanpa hambatan. Kiyai muzakir tidak ada lagi, teungku manan kurang dalam membimbingku untuk mencapai kesuksesan dipesantren.
Kiyai Muzakir sangat berwibawa, semasa hidup penuh dengn kesederhanaan. dengan postur tubuh 160 cm, dan berbadan gemuk dengan kulit hitam manis ditambah kumis agak lebat. pespa selalu setia menemani kemana beliau pergi dan sering diundang keluar untuk berpidato atau sekedar mengobati orang dari gangguan santet dan penyakit yang lain. senyum terus tersungging dari wajahnya yang bersinar bekasan wudhuk yang terus terjaga. tuturkata selalu sopan dan santun. inilah yang membuatku sngat kehilangan. semoga Allah swt selalu melindungi dan merahmatimu di alam sana. selamat tinggal guruku, semoga ilmu yang telah engkau berikan bermanfaat bagiku dan bagi santri yang lain.
Orang tuaku selalu berpesan, lebih-lebih ibuku sangat meninginkan aku selesai paling tidak tiga tahun.
“ Ilmu agama itu memang sukar untuk dituntut, tapi bila ada keyakinan dan kesabaran kamu pasti akan berhasil.” Nasehat ibuku setiap aku pulang kekampung.
“ ho nyang tajak beleet tapak, hoe nyang taduk beulet punggong.” Nasehat ayahku. Petatah aceh itu sering kali aku dengarkan, tapi tekatku untuk bebas lebih besar ketimbang nasehat.
“ Ya Allah Ya Rabbi, apakah ini kesalahnku?. Apakah aku banyak berbuat dosa selama ini kepadamu.” Keluhku dalam doa selesai Tahajut malam.
Suasana darul hikmah yang ramai makin membuatku menyendiri, aku tinggal dirangkang sembilan bersama mukhlis, azmi dan amri. Sebelah kiri rangkang dihuni empat orang semuanya suku jawa dan berbahasa jawa, sedangkan sebelah kanan rangkang semuanya berbahasa jamu. Memang pesantren unik, hampir semua bahasa daerah terdengar disini.
Aku memang sangat senang hidup dipesantren ketimbang santri yang lain. Aku tidak masak sendiri melainkan ambil nasi rantang dirumah nek mi. Nasi yang enak dan kawan nasi lumanyan enak. Tapi tetap tidak membuatku betah. Memang sejak kelas tiga aku sudah mengenal santriwati. Karena aku dan Bang Mukhtar sering keasrama putri untuk membuat lampu atau peralatan yang rusak lainnya.
Tapi sayang, santriwati itu telah pergi... ia telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kesan dan pengalaman untukku. Ia sangat pintar dan baik hati.
“ Teungku Jol.! Bisa perbaiki lemari zahrah sebentar???” tegurnya sambil tersenyum.
Semangat hidupku hilang, hatiku tidak karuan ketika dia sakit, malah pernah aku kerumahnya sekitar simpang empat rondeng moulaboh ketika aku cabut dengan mukhlis. Kebetulan dia sudah dijemput ayahnya lantaran sakit. Memang cinta pesantren itu indah. Cukup sekedar senyuman dan sekedar melihat ketika dia lewat menuju kekedai bang nasir untuk berbelanja. Duh cinta memang kadang membutakan setiap makhluk tuhan, mungkinkah aku termasuk salah satunya...?
Tidak terasa penantianku akan segera tercapai, seminggu lagi aku akan menamatkan tingkat Tsanawaiyah. Berarti uku bisa keluar dan bebas. Ia bebas. Slamat tinggal kenangan. Slamat tinggal sahabat, slamat tinggal cinta engkau telah pergi untuk selama-lamanya.
( Shefry Al-Drintijy.)